Seorang mas-mas, mahasiswa S3, berkonsultasi ke suami. Si Mas
mahasiswa ini sedang menghadapi masalah, beasiswa Diktinya terancam
tidak diperpanjang sementara kuliahnya belum selesai. Detilnya, saya
tidak paham. Yang saya tahu, tanpa beasiswa, berarti tidak ada dana yang
bisa diandalkan untuk membayar biaya kuliah, juga biaya hidup. Si Mas
terancam putus kuliah. Tapi yang bersangkutan bertekad tetap sekolah,
meski entah bagaimana uang untuk biaya studinya ketika beasiswa natinya
betul-betul tidak lagi bisa diperpanjang.
Kuliah di luar negeri jelas bukan main mahalnya. Minimal untuk ukuran
saya yang anak PNS. Apalagi bagi suami yang anak buruh tani. Tapi
karena Si Mas mahasiswa punya tekad superbaja, suami saya pun siap-siap
mengerahkan semua yang bisa dia lakukan untuk membantu yang bersangkutan
melanjutkan studinya. Di Inggris.
“Kenapa kamu nggak menyarankan untuk melanjutkan S3-nya di Indonesia
saja, Yah?” tanya saya, yang berhitung tentang biaya. “Kenapa bersikeras
bahwa sebisa mungkin dia harus menyelesaikan S3-nya di Barat?”
“Pengalaman, Bu,” jawab suami saya singkat.
Saya tak bertanya lagi. Dan tetiba teringat kepada dua sosok guru
besar di Indonesia. Profesor Fahmi Amhar, yang hanya sempat kuliah di
jurusan Fisika ITB selama satu semester. Beliau kemudian mendapat
beasiswa dari Menrsitek Habibie (OFP-STAID) untuk melanjutkan studi
“undergraduate” di Eropa Barat, dan lalu beasiswa dari Austrian National
Science Foundation untuk tingkat selanjutnya.
Fahmi Amhar meraih gelar “Diplom-Ingenieur” dari Universitaet
Innsbruck & Technische Universitaet Wien (Vienna University of
Technology) dalam bidang geodesy, photogrametry & cartography pada
tahun 1993; kemudian “Doktor der technischen Wissenschaften” dari
Technische Universitaet Wien , dengan dissertasi dalam bidang geomatics
engineering (3D-GIS, digital orthoimage & spatial database) pada
tahun 1997.
Sementara Profesor Rhenal Kasali, siapa pun orang Indonesia yang
pernah kuliah pasti pernah mendengar nama beliau. Atau bahkan membaca
karyanya.
Profesor Fahmi Amhar pernah bermukim di Austria selama 10 tahun. Bagi
Profesor Rhenald Kasali, ke luar dari Indonesia jangan ditanya lagi.
Beliau kini mendorong mahasiswa-mahasiswanya untuk pergi ke
negara-negara yang jauh sebagai salah satu tugas kuliahnya. Pak Fahmi
Amhar pernah merantau. Sementara Rhenald Kasali ‘memaksa’
mahasiswa-mahasiswanya untuk merantau.
Begini menurut Rhenald Kasali:
Jadi hari pertama kuliah, mereka harus urus paspor. Seminggu
kemudian, membuat rencana perjalanan ke luar negri. Satu negara hanya
boleh dikunjungi oleh satu orang. Dan itu harus cepat, karena 30
mahasiswa berebut negara tujuan dengan syarat tak boleh yang bahasa dan
penduduknya mirip dengan kita. Kalau terlambat, biayanya makin besar,
negeri yang dikunjungi makin jauh, makin rumit pengurusan visa dan
mungkin saja makin tak menarik untuk dikunjungi. Misalnya Bangladesh.
Ada dua situasi kebatinan yang akan mereka hadapi (di
perantauan–fira): terasing sekaligus tertantang. Dalam keterasingan,
mereka hanya berbicara dengan diri sendiri, bukan bergantung pada orang
lain. Di tengah kesibukan banyak berdialog dengan orang lain dan media
sosial, dalam keterasingan, bagus bagi anak muda untuk membangun diri.
Dialog diri ini akan menimbulkan self awareness (kesadaran diri) untuk
membentuk karakter yang kuat.
Sebab, kuliah saja di bangku kelas tak menjamin manusia belajar
menghadapi tantangan yang sebenarnya. Semua persiapan harus diurus
sendiri dalam waktu yang sangat singkat, dilarang memakai jasa calo atau
travel, juga dilarang menerima bantuan keluarga.
Paspor, penginapan, rencana perjalanan, apa yang mau dilihat,
biaya dan sebagainya. Laporannya pun bebas, diutamakan refleksi
kehidupan, bukan soal produk atau pasar. Jadi perjalanan mereka tidak
dimulai di pintu keberangkatan bandara, melainkan di hari pertama kuliah
dengan saya.
Makin kesasar makin bagus. Satu hal yang dapat dipastikan adalah;
mereka akan mulai mengaktifkan otaknya. Dari situ secara tidak sadar
mereka sudah memulai praktik manajemen yang sebenarnya. Selama ini
buku-buku sudah pasti menjelaskan segala teknik mengatasi masalah dengan
amat jelas.
Masalahnya, pernahkah mereka sendiri menggunakanya dalam
kehidupan di dunia nyata? Faktanya pula, kebanyakan sarjana kita belum
banyak yang mampu bekerja dengan baik meski di bangku perkuliahan mereka
terlihat sangat berprestasi. Inilah yang disebut sarjana kertas dengan
kehebatan memindahkan isi buku ke dalam lembar kertas ujian.
Sebagai guru, saya merenungkan kehadiran saya dalam kehidupan
mereka: apakah saya hanya menjadi pentransfer pengetahuan atau seorang
pendidik? Saya menyadari betul bahwa pendidik bukanlah sekedar
penyampai teori. Kemampuan mewadahi keingintahuan, memperbaiki watak dan
karakter, membentuk masa depan mereka adalah sama pentingnya dengan
memperaktikan teori.
[Maka] harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso
sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri.
Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan
mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak
PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka
tak mau kalah dengan TKW.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata
memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri
mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang
pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi
mereka.
Bepergian ke tempat baru, dengan
informasi, uang, waktu dan pengetahuan terbatas sesungguhnya bisa
mengubah nasib manusia. Dan keterbatasan itu belum tentu membuat kita
tersudut tanpa kemampuan keluar (dari kesulitan) sama sekali. Dan
anak-anak remaja kita, sesungguhnya memiliki kemampuan untuk men-drive
diri masing-masing, yang membuat mereka mampu mencari dan menemukan
“pintu keluar” dari kesulitan sehari-hari.
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah
Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke
tiga dari Revolusi Industri. Dan sejak tahun 1950, rata-rata
pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka
kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita
menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura
bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo
dan tak pernah ke luar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu
harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki passport.
Sebetulnya, pergi jauh termasuk ke luar negeri, atau merantau, diajurka oleh Imam Syafi’i. Beliau menulis:
ما في المقامِ لذي عقلٍ وذي أدبِ مِنْ رَاحَة ٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِبِ
سافر تجد عوضاً عمَّن تفارقهُ وَانْصِبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ
إني رأيتُ وقوفَ الماء يفسدهُ إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
والأسدُ لولا فراقُ الأرض ما افترست
والسَّهمُ لولا فراقُ القوسِ لم يُصِبِ
والشمس لو وقفت في الفلكِ دائمة ً لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ
والتَّبْرَ كالتُّرْبَ مُلْقَىً في أَمَاكِنِهِ والعودُ في أرضه نوعً من الحطب
فإن تغرَّب هذا عزَّ مطلبهُ وإنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ عَزَّ كالذَّهَبِ
Tidaklah berdiam di tempatnya orang2 berakal dan beradab, dari rehatnya dia berpisah dan dari negerinya dia mengasingkan diri
Berpergianlah, akan kau temukan pengganti yang telah engkau tinggalkan, berusahalah, sungguh kenikmatan hidup ada pada kerasnya usaha
Sungguh aku melihat diamnya air merusakkannya, bila bergerak ia jernih, bila tak mengalir maka ia tak menyehatkan
Dan singa yang tak tinggalkan sarangnya takkan memangsa, dan panah yang tak terlepas dari busurnya takkan mengena
Dan matahari yang bertetap pada peredarannya, tentu akan menjemukan manusia, baik dari ajam maupun Arab
Dan biji emas tak ada bedanya dengan biji tanah saat tercampur di tempatnya, kayu gaharu terserak di tanah pun serupa dengan kayu bakar
Bila kau pisahkan biji emas dari tanah, maka mulia dia dan dicari, bila kau pisahkan kayu gaharu dari kayu bakar, ia akan seharga emas.
Berpergianlah, akan kau temukan pengganti yang telah engkau tinggalkan, berusahalah, sungguh kenikmatan hidup ada pada kerasnya usaha
Sungguh aku melihat diamnya air merusakkannya, bila bergerak ia jernih, bila tak mengalir maka ia tak menyehatkan
Dan singa yang tak tinggalkan sarangnya takkan memangsa, dan panah yang tak terlepas dari busurnya takkan mengena
Dan matahari yang bertetap pada peredarannya, tentu akan menjemukan manusia, baik dari ajam maupun Arab
Dan biji emas tak ada bedanya dengan biji tanah saat tercampur di tempatnya, kayu gaharu terserak di tanah pun serupa dengan kayu bakar
Bila kau pisahkan biji emas dari tanah, maka mulia dia dan dicari, bila kau pisahkan kayu gaharu dari kayu bakar, ia akan seharga emas.
Rhenald Kasali tidak mengatakan bahwa demo itu buruk. Saya pikir ia
hanya menantang mahasiswa untuk keluar dari Indonesia dan mengalami
sendiri bahwa dunia tak hanya selebar Asia Tenggara.
Bila sudah punya kemauan untuk pergi ke luar negeri, berikut beberapa
pertanyaan yang bisa jadi muncul, “Uang untuk beli tiketnya bagaimana?
Uang untuk biaya hidup selama di negara asing bagaimana?”
Mungkin yang sudah berkeluarga pertayaannya lebih banyak, “Izin dari
suami bagaimana? Anak-anak saya bagaimana? Bisnis online saya
bagaimana?”
Dan berbagai pertanyaan sejenis. Kalau memang itu yang menjadi
pertanyaan awal, Prof Rhenald Kasali, menjawabya dengan, “Saya katakan
saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang
selalu memulai pertanyaan hidup dari uang, apalagi memulai misi
kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya
uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint.
Hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak
mungkin. Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa,
melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka
yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah,
menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak
dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di
almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta
kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang tak
terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.”
Saya nggak bisa lebih setuju lagi dengan pernyataan beliau.
Colchester, Essex, 25 Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar