Jumat, 08 Mei 2015

simbahSeorang mas-mas, mahasiswa S3, berkonsultasi ke suami. Si Mas mahasiswa ini sedang menghadapi masalah, beasiswa Diktinya terancam tidak diperpanjang sementara kuliahnya belum selesai. Detilnya, saya tidak paham. Yang saya tahu, tanpa beasiswa, berarti tidak ada dana yang bisa diandalkan untuk membayar biaya kuliah, juga biaya hidup. Si Mas terancam putus kuliah. Tapi yang bersangkutan bertekad tetap sekolah, meski entah bagaimana uang untuk biaya studinya ketika beasiswa natinya betul-betul tidak lagi bisa diperpanjang.

Kuliah di luar negeri jelas bukan main mahalnya. Minimal untuk ukuran saya yang anak PNS. Apalagi bagi suami yang anak buruh tani. Tapi karena Si Mas mahasiswa punya tekad superbaja, suami saya pun siap-siap mengerahkan semua yang bisa dia lakukan untuk membantu yang bersangkutan melanjutkan studinya. Di Inggris.

“Kenapa kamu nggak menyarankan untuk melanjutkan S3-nya di Indonesia saja, Yah?” tanya saya, yang berhitung tentang biaya. “Kenapa bersikeras bahwa sebisa mungkin dia harus menyelesaikan S3-nya di Barat?”

“Pengalaman, Bu,” jawab suami saya singkat.

Saya tak bertanya lagi. Dan tetiba teringat kepada dua sosok guru besar di Indonesia. Profesor Fahmi Amhar, yang hanya sempat kuliah di jurusan Fisika ITB selama satu semester. Beliau kemudian mendapat beasiswa dari Menrsitek Habibie (OFP-STAID) untuk melanjutkan studi “undergraduate” di Eropa Barat, dan lalu beasiswa dari Austrian National Science Foundation untuk tingkat selanjutnya.

Fahmi Amhar meraih gelar “Diplom-Ingenieur” dari Universitaet Innsbruck & Technische Universitaet Wien (Vienna University of Technology) dalam bidang geodesy, photogrametry & cartography pada tahun 1993; kemudian “Doktor der technischen Wissenschaften” dari Technische Universitaet Wien , dengan dissertasi dalam bidang geomatics engineering (3D-GIS, digital orthoimage & spatial database) pada tahun 1997.

Sementara Profesor Rhenal Kasali, siapa pun orang Indonesia yang pernah kuliah pasti pernah mendengar nama beliau. Atau bahkan membaca karyanya.

Profesor Fahmi Amhar pernah bermukim di Austria selama 10 tahun. Bagi Profesor Rhenald Kasali, ke luar dari Indonesia jangan ditanya lagi. Beliau kini mendorong mahasiswa-mahasiswanya untuk pergi ke negara-negara yang jauh sebagai salah satu tugas kuliahnya. Pak Fahmi Amhar pernah merantau. Sementara Rhenald Kasali ‘memaksa’ mahasiswa-mahasiswanya untuk merantau.
Begini menurut Rhenald Kasali:

Jadi hari pertama kuliah, mereka harus urus paspor. Seminggu kemudian, membuat rencana perjalanan ke luar negri. Satu negara hanya boleh dikunjungi oleh satu orang. Dan itu harus cepat, karena 30 mahasiswa berebut negara tujuan dengan syarat tak boleh yang bahasa dan penduduknya mirip dengan kita. Kalau terlambat, biayanya makin besar, negeri yang dikunjungi makin jauh, makin rumit pengurusan visa dan mungkin saja makin tak menarik untuk dikunjungi. Misalnya  Bangladesh.

Ada dua situasi kebatinan yang akan mereka hadapi (di perantauan–fira): terasing sekaligus tertantang. Dalam keterasingan, mereka hanya berbicara dengan diri sendiri, bukan bergantung pada orang lain. Di tengah kesibukan banyak berdialog dengan orang lain dan media sosial, dalam keterasingan, bagus bagi anak muda untuk membangun diri. Dialog diri ini akan menimbulkan self awareness (kesadaran diri) untuk membentuk karakter yang kuat.

Sebab, kuliah saja di bangku kelas tak menjamin manusia belajar menghadapi tantangan yang sebenarnya. Semua persiapan harus diurus sendiri dalam waktu yang sangat singkat, dilarang memakai jasa calo atau travel, juga dilarang menerima bantuan keluarga.

Paspor, penginapan, rencana perjalanan, apa yang mau dilihat, biaya dan sebagainya. Laporannya pun bebas, diutamakan refleksi kehidupan, bukan soal produk atau pasar. Jadi perjalanan mereka tidak dimulai di pintu keberangkatan bandara, melainkan di hari pertama kuliah dengan saya.

Makin kesasar makin bagus. Satu hal yang dapat dipastikan adalah; mereka akan mulai mengaktifkan otaknya. Dari situ secara tidak sadar mereka sudah memulai praktik manajemen yang sebenarnya. Selama ini buku-buku sudah pasti menjelaskan segala teknik mengatasi masalah dengan amat jelas.

Masalahnya, pernahkah mereka sendiri menggunakanya dalam kehidupan di dunia nyata?  Faktanya pula, kebanyakan sarjana kita belum banyak yang mampu bekerja dengan baik meski di bangku perkuliahan mereka terlihat sangat berprestasi. Inilah yang disebut sarjana kertas dengan kehebatan memindahkan isi buku ke dalam lembar kertas ujian.

Sebagai guru, saya merenungkan kehadiran saya dalam kehidupan mereka: apakah saya hanya menjadi pentransfer pengetahuan atau seorang pendidik?  Saya menyadari betul bahwa pendidik bukanlah sekedar penyampai teori. Kemampuan mewadahi keingintahuan, memperbaiki watak dan karakter, membentuk masa depan mereka adalah sama pentingnya dengan memperaktikan teori.

[Maka] harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW.

Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Bepergian ke tempat baru, dengan informasi, uang, waktu dan pengetahuan terbatas sesungguhnya bisa mengubah nasib manusia. Dan keterbatasan itu belum tentu membuat kita tersudut tanpa kemampuan keluar (dari kesulitan) sama sekali. Dan anak-anak remaja kita, sesungguhnya memiliki kemampuan untuk men-drive diri masing-masing, yang membuat mereka mampu mencari dan menemukan “pintu keluar” dari kesulitan sehari-hari.

Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan,  dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri.  Dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat.  Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah ke luar negeri sekalipun.  Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki passport.
Sebetulnya, pergi jauh termasuk ke luar negeri, atau merantau, diajurka oleh Imam Syafi’i. Beliau menulis:
ما في المقامِ لذي عقلٍ وذي أدبِ مِنْ رَاحَة ٍ فَدعِ الأَوْطَانَ واغْتَرِبِ

سافر تجد عوضاً عمَّن تفارقهُ وَانْصِبْ فَإنَّ لَذِيذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ
إني رأيتُ وقوفَ الماء يفسدهُ إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
والأسدُ لولا فراقُ الأرض ما افترست
والسَّهمُ لولا فراقُ القوسِ لم يُصِبِ
والشمس لو وقفت في الفلكِ دائمة ً لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنَ عَرَبِ
والتَّبْرَ كالتُّرْبَ مُلْقَىً في أَمَاكِنِهِ والعودُ في أرضه نوعً من الحطب
فإن تغرَّب هذا عزَّ مطلبهُ وإنْ تَغَرَّبَ ذَاكَ عَزَّ كالذَّهَبِ

Tidaklah berdiam di tempatnya orang2 berakal dan beradab, dari rehatnya dia berpisah dan dari negerinya dia mengasingkan diri
Berpergianlah, akan kau temukan pengganti yang telah engkau tinggalkan, berusahalah, sungguh kenikmatan hidup ada pada kerasnya usaha
Sungguh aku melihat diamnya air merusakkannya, bila bergerak ia jernih, bila tak mengalir maka ia tak menyehatkan
Dan singa yang tak tinggalkan sarangnya takkan memangsa, dan panah yang tak terlepas dari busurnya takkan mengena
Dan matahari yang bertetap pada peredarannya, tentu akan menjemukan manusia, baik dari ajam maupun Arab
Dan biji emas tak ada bedanya dengan biji tanah saat tercampur di tempatnya, kayu gaharu terserak di tanah pun serupa dengan kayu bakar
Bila kau pisahkan biji emas dari tanah, maka mulia dia dan dicari, bila kau pisahkan kayu gaharu dari kayu bakar, ia akan seharga emas.

Rhenald Kasali tidak mengatakan bahwa demo itu buruk. Saya pikir ia hanya menantang mahasiswa untuk keluar dari Indonesia dan mengalami sendiri bahwa dunia tak hanya selebar Asia Tenggara.
Bila sudah punya kemauan untuk pergi ke luar negeri, berikut beberapa pertanyaan yang bisa jadi muncul, “Uang untuk beli tiketnya bagaimana? Uang untuk biaya hidup selama di negara asing bagaimana?”
 
Mungkin yang sudah berkeluarga pertayaannya lebih banyak, “Izin dari suami bagaimana? Anak-anak saya bagaimana? Bisnis online saya bagaimana?”

Dan berbagai pertanyaan sejenis. Kalau memang itu yang menjadi pertanyaan awal, Prof Rhenald Kasali, menjawabya dengan, “Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup dari uang, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang tak terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Saya nggak bisa lebih setuju lagi dengan pernyataan beliau.

Colchester, Essex, 25 Januari 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Translete to

Categories

Total Tayangan Halaman

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Sponsored by

Alt/Text Gambar Alt/text Gambar Alt/Text Gambar Alt/Text Gambar

Popular Posts